Mesjid Tak Bernama - Blog Kang Fatur

Mesjid Tak Bernama

Sahabat yang baik, azan maghrib berkumandang saat kami berbaur di tengah lalu lintas jantung kota. Menjelang malam jalan menjadi sangat padat. Lampu-lampu kendaraan menerobos sana-sini. Dari jauh terlihat lampu-lampu toko yang bersinar seperti terang kunang-kunang selepas hujan. Sorotnya terlihat berbaris rapi. Langit diatas tampak gelap. Bulan seiris pucat memandang bumi. Tirai hitam tipis-samar menyelimutinya. Sementara itu, disebelah bulan sebutir mutiara langit redup menyala.


Sebuah masjid di barat jalan menggoda untuk disinggahi. Saat itu iqamat sudah dikumandangkan. Satu-persatu jamaah membentuk barisan salat. Seorang lelaki paruh baya memarkir sepeda kumbangnya tepat di bawah pohon rindang. Ada kotak besar di atas roda belakang bertuliskan merk roti. Ia mengambil handuk yang tergantung di leher dan mengusap peluhnya. Ia menarik napas sejenak sebelum melangkah ketempat wudhu.

Dihalaman samping beberapa sepeda motor berhenti. Seorang terlihat begitu terburu sehingga uang koin di jaketnya berhamburan ke tanah. Gugup ia mengambilnya satu-persatu. Sebuah koin jatuh tepat di kakiku. Ia mengucapkan ‘terima kasih’ saat kuberikan koin itu padanya. Ia setengah berlari. Saf salat sudah beranjak ke rakaat kedua.

Allah Maha Berkehendak. Dengan mudah Ia menyatukan manusia dalam suatu barisan yang rapi. Barisan yang dengan komando sederhana melakukan gerakan sempurna dalam salat berjamaah. Taat dan patuh kepada satu suara. Sebanyak apapun manusia dalam salat jamaah hanya cukup dipimpin oleh seorang saja. Satu barisan untuk memuliakan-Nya terlukis dalam satu gerak bersama.

Salat jamaah adalah gambaran pupusnya status sosial seseorang. Tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Semuanya datang sebagai hamba dihadapan Robbnya. Allahpun tidak mengistimewakan seseorang selain dengan satu hal, ketaqwaan. Semua orang mendapat hak yang sama untuk meraihnya. Tidak peduli apapun dia, si tukang roti, si pedagang, orang papa, si anak sekolah, maupun si tunawisma. Semua sama dihadapan Allah. Ketaqwaanlah satu-satunya parameter ketinggian derajat seseorang di hadapan Allah. Inilah parameter kemuliaan yang sesungguhnya.

Lebih dari seribu lima ratus tahun yang lalu, Rasulullah menegaskan dalam pesan terakhirnya untuk segenap manusia bahwa tak ada perbedaan antara bangsa Arab atas bangsa lain. Semua bangsa berhak meraih derajat yang lebih tinggi dimata Allah. Tidak ada keistimewaan atas keturunan, gender, status sosial untuk mendapatkan label sebaik-baik hamba. Tidak ada pula untuk menjadi yang paling mulia, selain dengan taqwa. Dan dalam salat berjamaah itulah tergambar kesetaraan dan persamaan hak manusia dengan sesamanya. Persaudaraan dalam iman yang erat dan indah dalam gerakan sempurna. Sinergi persatuan yang lama dicari untuk menyembuhkan permusuhan dan sengketa. Semua luluh dan cair dalam karunia Allah yang mempersatukannya.

Satu-persatu jamaah beranjak. Halaman itu tak lagi dipenuhi kendaraan. Tingal satu-dua orang saja yang berzikir di dalam. Masjid ini begitu sederhana. Cat di dindingnya tak lagi kuat berwarna. Tak ada karpet untuk imam, apalagi untuk para jamaahnya. Tapi 4 puncak di serambinya, masjid ini terlihat luas. Meskipun begitu, masjid ini begitu bermakna. Ini adalah masjid idola para ‘wirausahawan’ muda yang tempat pemasaran produknya di seluruh penjuru kota hingga desa-desa kecil di pinggirnya. Inilah tempat yang akrab bagi si tukang roti yang selalu bertopi dan berkalung handuk di lehernya. Ini adalah tempat yang mempersatukan orang tak peduli apapun pekerjaannya dan siapapun dia.

Di halaman depan, sebuah papan berdiri. Papan itu hanya bertuliskan "Yayasan At-Taqwa". Subhanallah, masjid ini tak bernama.***(Mq)


manajemenqolbu.com

1 comment:

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo